Alumni Gontor Angkatan 2000 Sukses Adakan Reuni Di Pondok Pesantren Modern Darel Azhar.

0
Bagikan Kekawan:

Foto Alumni Gontor Tahun 2000 Di Depan Auditorium Darel Azhar. (Kita Masih Muda Terus Bergerak Untuk Umat)

Reuni seperempat abad alumni gontor laviola.

Foto bersama alumni gontor tahun 2000 di PPM Darel Azhar Rangkasbitung Lebak Banten.

Bagikan Kekawan:

Reuni Seperempat Abad Laviola 2000 sukses dilaksanakan mulai hari Jumat (09/05/25) hingga hari Ahad (11/05/25), dihadiri lebih dari 300 alumni dari berbagai daerah di Indonesia, bahkan dari luar negeri, menjadikannya salah satu reuni terapik dan paling berkesan dalam sejarah angkatan lulusan Gontor di era milenial.

Sebagai pembuka acara ceramah umum disampaikan oleh dua tokoh penting, yaitu Prof. Dr. KH. Husnan Bey Fananie, seorang cendekiawan dan duta besar RI sekaligus pengurus Badan Wakaf PM Darussalam Gontor juga PPM Darel Azhar, serta Dr. KH. Ikhwan Hadiyyin, MM, pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Modern Darel Azhar.

Keduanya menegaskan pentingnya peran alumni Gontor dalam membangun peradaban Islam yang unggul dan inklusif, serta menyerukan penguatan ukhuwah dan kolaborasi lintas sektor di tengah tantangan zaman.

Reuni ini juga dihadiri oleh para guru pembimbing/musyrif Laviola semasa nyantri di Gontor, antara lain: Ust. Saeful Anwar, Ust. Hanif Hafidz, Dr. Hendri Solahuddin, Ust Khotam Rusli dan Dr. Dariyanto.

Beragam kegiatan intelektual dan inspiratif turut disajikan pada acara ini, seperti diskusi panel bertema “Peran Alumni dalam Pengembangan Umat dan Pendidikan Global.” Para alumni yang kini berkiprah sebagai pengusaha, pendakwah, akademisi, dan profesional berbagi wawasan tentang Tahfizh Al-Qur’an, Entrepreneurship, Digital Marketing, Dakwah Kontemporer, dan isu-isu keperempuanan (nisaiyah).

Kegiatan ini menjadi forum strategis untuk saling berbagi, memperkuat jejaring, serta merumuskan kontribusi nyata alumni terhadap masyarakat.

Selain itu, peserta turut mengunjungi unit-unit usaha pondok seperti Peternakan Sapi Limosin, Mumtazo Resto, Azhar Mart, dan DAZ Syar’iy Swimming Pool sebagai bagian dari pelatihan dan studi manajemen kemandirian pesantren. Hal ini menjadi refleksi pentingnya integrasi antara nilai-nilai spiritual dan ketahanan ekonomi dalam sistem pendidikan pesantren modern.

Suasana keakraban semakin terasa melalui berbagai kegiatan informal seperti turnamen sepak bola antar klub alumni di Stadion ONA dan agenda kebersamaan lainnya.

Gambaran suasana keakraban tampak semakin nyata ketika Ust. Jefri Romdoni anggota Komisi XI DPR RI dari Partai Gerindra, dicandai rekan seangkatannya hingga tercebur ke kolam renang pesantren, sebuah candaan khas santri ekspresi kedekatan batin yang telah terjalin sejak lama.

Sejumlah tokoh alumni 2000 pun turut hadir, di antaranya puluhan Kiai Alumni Gontor tahun 2000 yang memimpin Pesantren, Letkol Agung Wibowo, Komandan Badak Putih Banten, Politisi Jefri Romdoni (DPR RI Gerindra), Robi Cahyadi (DPRD Kab Siak Gerindra), Abud Asrofi (DPRD Sidoarjo PKB), Achmad Taufan S (Golkar) Najih Mustofa (Ketua Bawaslu Kab Tenggamus), Husain Sanusi (mantan Jurnalis Senior Kompas Gramedia), serta para profesional di berbagai instansi dan para entrepreneur sukses di berbagai bidang bisnis lainnya.

Mereka menyampaikan apresiasi atas keberhasilan acara dan pentingnya menjaga ruh kepondokmodernan dalam kiprah masing-masing.

Reuni ini bukan sekadar nostalgia, tetapi juga menjadi ajang konsolidasi moral dan spiritual menjelang peringatan 100 Tahun Pondok Modern Gontor pada tahun 2026.

“Ini adalah momentum tajammuk yang tidak hanya menyegarkan memori, tetapi juga memperbarui niat untuk terus berkhidmat dan mengabdi. Ribuan terimakasih kepada Pimpinan Daar El Azhar dan seluruh asatidz atas sambutan hangat dan layanan yang sangat istimewa dan sempurna tanpa celah, kami sangat beruntung menggelar reuni di Daar El Azhar yang jadi pengalaman baru bagi kami” tutur Ketua Laviola 2000, David Rusdianto yang juga Sekjen PP FORBIS IKPM Gontor.

Dedi Haeruzi salah satu peserta acara reuni merefleksikan kegiatan ini sebagai berikut:

  1. Nilai Keikhlasan yang Menjadi Napas Perjuangan

Dari Gontor, kita belajar bahwa keberhasilan sejati lahir dari pengabdian tanpa pamrih. Trimurti tidak membangun pondok ini untuk ketenaran atau keuntungan, melainkan karena cinta kepada ilmu dan amanah agama. Keikhlasan inilah yang menjadi ruh yang menurun hingga generasi guru dan santri hari ini.

Ust. Hanif salah satu pembimbing angkatan 2000 menekankan bagaimana keikhlasan dan ketidakterikatan pada profesionalisme duniawi justru membentuk pribadi-pribadi tangguh yang belajar sambil mengabdi. “Guru tidak digaji dari uang santri. Tapi mereka tahu bahwa yang mereka lakukan adalah bagian dari misi besar.”

Pondok Modern Gontor tidak pernah menjanjikan kenyamanan, tetapi menawarkan pembentukan karakter. Dalam usianya yang hampir satu abad, Gontor berdiri tegak bukan karena teknologi atau pendanaan besar, melainkan karena warisan nilai-nilai luhur Trimurti—keikhlasan, kesederhanaan, dan pengabdian tanpa pamrih.
Guru-guru Gontor bukan lulusan lembaga manajemen, tapi mereka yang ditempa untuk menjadi murid seumur hidup: mengajar, belajar, dan membantu pondok—tiga tugas utama yang tak bisa ditawar. Lulusan baru langsung ditempatkan di percetakan, koperasi, hingga SPBU—bukan untuk mencari untung, tetapi untuk membangun kompetensi dan tanggung jawab.

  1. Jiwa Kepemimpinan yang Ditempa, Bukan Diciptakan

Ust. Hendri pun mengajak para peserta reuni untuk menengok kembali bagaimana Gontor menanamkan leadership yang utuh—fisik, intelektual, dan spiritual. Pendidikan ala Ottoman yang dijadikan referensi menggarisbawahi bahwa seorang pemimpin bukan hanya tahu teori, tapi hidup dalam keteladanan.

Pesan tajam muncul: “DNA laki-laki itu memberi, bukan menggantungkan.” Ini bukan sekadar pernyataan gender, tapi penegasan bahwa tanggung jawab sosial dan keluarga adalah medan jihad utama para santri yang telah menjadi bapak-bapak hari ini.

  1. Kekuatan Spiritual yang Tak Terlihat tapi Nyata

Sementara Ust. Saiful menceritakan kisah-kisah yang menghangatkan hati—bagaimana doa, tahajud, dan keyakinan melahirkan keajaiban. Dari hanya tiga santri menjadi tiga ribu, dari obrolan ringan menjadi keteladanan hidup. Bahwa spiritualitas bukan hanya urusan mimbar, tapi energi yang menggerakkan seluruh perjuangan.

Seorang kiai yang dulunya hanya memiliki tiga santri, dipanggil dengan nama panggilan yang lucu, kini memimpin ribuan santri. Apa rahasianya? Bukan strategi pemasaran atau teknologi canggih, tetapi tahajud, doa, dan silaturahmi. Ini bukan cerita mistik, tapi bukti dari keikhlasan dan keyakinan teguh terhadap kekuatan tak kasat mata.

Di pesantren, hal-hal kecil seperti diminta mencari barang yang belum pernah diproduksi pabrik pun bisa jadi ujian kepercayaan. Tugas yang tampak mustahil menjadi pelajaran iman: percaya dulu, paham belakangan. Dan yang lulus bukan yang paling pintar, tapi yang paling yakin dan patuh. Itulah pesan yang beliau sampaikan saat menceritakan bagaimana Kiai Syukri dulu mendidik beliau.

  1. Membentuk Generasi Pemimpin Lewat Keikhlasan, Disiplin, dan Tanggung Jawab

Di tengah dunia yang makin pragmatis, Gontor hadir sebagai oase pendidikan yang tidak hanya membentuk intelektual, tapi juga memahat karakter. Ust. Hendri membuka Kembali mata kita tentang makna pendidikan yang sesungguhnya: bukan sekadar mencetak lulusan, tapi menanamkan nilai kehidupan yang mendalam.

Gontor meniru model pendidikan Kekaisaran Ottoman, tempat fisik, intelektual, dan spiritual dibina secara ketat. Mereka yang melanggar disiplin, dikeluarkan. Di istana Topkapi Saraya pun, ayat-ayat suci terpapang besar untuk mengingatkan pemimpin akan keadilan dan tanggung jawab, bukan sekadar hiasan proposal sumbangan seperti hari ini. Ini adalah refleksi pendidikan yang mendidik dari dalam ke luar, bukan sekadar pelatihan administratif.

Pendidikan Gontor berakar pada filosofi bahwa laki-laki harus memberi—kepada keluarga, masyarakat, dan umat. Bukan bergantung, apalagi sekadar “numpang mertua.” Maka, santri Gontor dilatih untuk mandiri, bekerja keras, dan serius dalam menuntut ilmu.

Lembaga Islam besar seperti NU, Muhammadiyah, hingga organisasi lokal yang mengelola aset besar pun seringkali tidak disiplin dan amburadul. Ironisnya, industri haram seperti prostitusi justru dikelola secara profesional. Maka dibutuhkan santri dan kader yang militan. Militan bukan dalam arti keras, tapi kuat: dalam ilmu, dalam kepemimpinan, dalam mental. Dibutuhkan pribadi yang tahan banting—berdaya dorong dan daya tahan tinggi. Semua itu dimulai dari rumah, terutama dari peran ayah.

Al-Qur’an menekankan pentingnya dialog ayah-anak, bukan ibu-anak. Mengapa? Karena ayahlah yang mengisi logika berpikir dan keteguhan jiwa. Hanya seorang ayah sejati yang rela dikalahkan oleh anak dan istrinya tanpa marah—karena di situlah cinta dan kepemimpinan sejati berpadu.

  1. Realitas Kehidupan: Lika-Liku, Bukan Jalan Lurus

Menarik ketika Bro. Taufan—seorang pengacara sekaligus politikus Golkar—berbagi bahwa profesinya adalah salah satu yang paling menjanjikan dan “tak kenal masa sulit.” Namun ia tidak sekadar membanggakan profesi, melainkan menegaskan pentingnya membangun jejaring, integritas, dan ketekunan dalam profesi hukum.

Di sisi lain, Bro. Jefri dari Gerindra mengingatkan bahwa pencapaian tidak datang dengan mudah. Di balik posisinya di DPR RI, ada perjalanan panjang, liku, dan perjuangan sunyi yang tak terlihat publik. Intinya, tidak ada keberhasilan yang instan. Semuanya dibayar dengan konsistensi dan ketekunan.

  1. Reuni: Mengokohkan Jembatan Ruhani

Acara ini menjadi ruang reflektif bahwa alumni Gontor, dengan beragam profesi—dari pendidik, politikus, pengusaha, hingga aktivis—tetap terhubung dalam satu napas nilai: mendidik diri untuk terus bermanfaat. Tidak ada kesuksesan yang lepas dari pengaruh pendidikan ruhani yang mereka terima dulu.

Dan yang lebih penting, perjumpaan ini mengingatkan kita bahwa sejauh apapun kaki melangkah, jiwa kita tetap berpulang ke pondok. Ke tempat kita ditempa, dan ke nilai-nilai yang dulu mungkin terasa keras, tapi kini kita tahu: merekalah yang membentuk fondasi sejati kehidupan kita.

Reuni ini bukan hanya menyatukan tubuh dalam satu ruangan, tapi menyatukan visi untuk terus berbuat, mengabdi, dan menyalakan lilin-lilin harapan di mana pun kita berada. Dari Gontor kita datang, dan kepada nilai-nilainya kita akan terus kembali.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *